Kamis, 10 April 2025

perihal pulang kampung

Selain bertemu orang tua, saudara yang bejibun, dan tetangga yang sama-sama merantau, mudik adalah momentum kita bertemu sesuatu yang baru atau yang lama tapi kita maknai dengan cara baru.

#1 Mudik kemarin, saya dan masbojo masih setia mengandalkan kereta api menuju kampung kami berdua di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hingga kembali ke Jogja, total kami mencicipi 4 kereta yang jenisnya berbeda-beda. Kalau tidak keliru New Generation Stainless Steel, New Generation Modifikasi, Premium Generasi Lama, dan Premium New Image. 


Di kereta keempat, kami tiba-tiba mereview tipis-tipis kursi-kursi yang kami duduki. Dan saya menobatkan Progo New Generation Stainless Steel sebagai kereta termanis yang pernah saya tumpangi. Cantik betul interiornya. Paduan dark blue dan cokelat untuk joknya, reclining seat yang bikin nyaman meski leg room tidak terlalu luas, steker dengan berbagai jenis colokan, gantungan yang dipencet dulu baru terlihat, atap bermotif, dan tatakan botol dan gelas yang menyatu dengan pinggiran jendela. Bagian paling ciamik adalah lantainya yang bercorak dan dominan biru, lalu pendaran lampu downlight yang mempermanis lantai. 


#2 Sejak stasiun dekat rumah difungsikan kembali, moda transportasi yang paling sering saya manfaatkan tentu saja kereta api! Rumah orang tua di kampung hanya sepeminuman teh dari stasiun kecil ini. Namun di kepulangan mudik kemarin, nuansa stasiun yang sudah diremajakan itu terasa berbeda. Adem sekali! Biasanya panasnya tak karuan. Bisa jadi karena ini kali pertama kami memilih kereta yang sampai di stasiun pukul 5 sore, menjelang buka puasa. Bisa jadi karena mood saya sedang bagus-bagusnya setelah terpesona pada lantai kereta itu. 


Cuaca adem, angin sepoi-sepoi, langit yang masih cerah, dan mood yang baik membuat saya sedikit berlama-lama mengamati stasiun kecil ini. Momentum ini membuat saya teringat masa kecil 90-an akhir. Ketika lebaran, stasiun ini selalu ramai menjadi jujugan wisata orang-orang kampung: naik dokar ke stasiun, menonton kereta api yang saat itu masih jarang melintas, membeli segala jajanan yang ditawarkan para pedagang. 


Setelah Kereta Mahesa yang melayani jurusan Bandung-Semarang via Kroya-Purwokerto tidak laku dan berhenti beroperasi tahun 2000, stasiun ini mati, hanya kereta barang yang melintasi. Maka girang betul saya yang ketika akhirnya ada rute baru yang kembali menghidupkan stasiun ini. Di masa-masa saya mulai bekerja di perantauan, saya kembali akrab dengan stasiun yang menjadi penghubung rindu kepada kampung dan orang-orang yang saya kasihi. 


#3 Takjil gorengan adalah sesuatu yang terbilang baru bagi saya. Sejak kecil hingga sebelum menikah, saya biasa berbuka puasa dengan makanan-makanan manis seperti es campur, candil, atau kembang pacar. Atau langsung saja menyantap nasi supaya segera kenyang. Namun ketika menikah, masbojo punya kebiasaan berbuka dengan takjil gorengan. Padahal dulu, gorengan (tempe, bakwan, atau tahu) adalah lauk pendamping nasi. Kebiasaan suami ini kadang bikin saya bingung: kami harus berbuka lauk apa ketika gorengan sudah disantap sebagai menu takjil? :)


Meski bingung, toh saya tetap menikmati gorengan sebagai takjil. Bahkan kini rasanya hampa jika olahan jahat terigu dan minyak ini tidak tersedia di meja makan kala azan berkumandang. Soal gorengan sebagai takjil saat mudik, ada dua kisah yang begitu melekat. Tahun 2022, kami mudik ke Jawa Timur menggunakan mobil pinjaman. Menjelang Magrib kebetulan kami berada di daerah Ngawi. Ya Tuhan betapa sulitnya mencari penjual gorengan di Ngawi. Kami berputar-putar di kawasan kota berharap ada pedagang bakwan atau mendoan di pinggir jalan. Nihil! Padahal di Jogja, jumlah penjual gorengan di bulan puasa meningkat drastis. Kami berasumsi bahwa orang-orang Ngawi tak punya budaya menjadikan gorengan sebagai menu takjil atau jika iya, mereka memilih menggoreng di rumah masing-masing. 


Tahun ini, jatah mudik pertama adalah di kampung saya. Biasanya mama selalu menggoreng tempe untuk berbuka. Namun kali itu, saya memilih untuk membeli di pasar karena ia harus menjemput kami di stasiun. Di perempatan pasar, ada penjual gorengan yang sibuknya tak karuan. Empat orang laki-laki sibuk menyiapkan dagangan: seorang memotong tempe berpapan-papan, seorang membuat adonan glepung, seorang sibuk meracik bumbu, dan yang terakhir melayani pembeli yang semaki sore justru semakin bertambah. 


Sebagai insan yang tak pernah membeli di sini, saya bingung mengapa kok saya dicueki tak ditanyai. Saya sempat membatin, “Kenapa tidak pakai nomor antrean saja ya biar adil?”Seorang pembeli akhirnya memberi tahu saya bahwa sistem antrean di tempat ini menggunakan uang. Jadi, buru-buru saya berikan selembar 20 ribuan yang saya pegang. Si pedagang kemudian menaruhnya di atas meja gerobak, berderet dengan uang pembeli yang lain. Pintar juga!


#4 Lebaran bertiga

Tahun ini, sungkeman selepas salat Ied di rumah hanya dilakukan bertiga: saya, masbojo, dan mama. Mba dan adik ada di rumah mertua masing-masing. Hari pertama lebaran di rumah yang berisi tiga orang dewasa membuat suasana begitu santai. Tidak gedebak-gedebuk selayaknya lebaran di rumah yang dipenuhi anak-anak kecil. Saya sih cukup menikmati sungkeman yang terasa santai dan cepat itu. Tidak ada air mata. Barangkali karena setahun ke belakang adalah waktu yang menyenangkan buat saya dan masbojo. Setahun ke bekalang, hubungan saya dan mama juga semakin intim meski intensitasnya berkurang. Kami banyak mengobrol dari hati ke hati: saya banyak bicara, mama banyak bicara; saya banyak mendengar, mama juga demikian. 


Mengucap maaf, memaafkan, mencium tangan dengan takzim, mencium pipi kanan dan kiri, dan berpelukan. Lalu seperti biasa, setelahnya kami berombongan dengan keluarga besar nyekar ke makam. 


*Di hari terakhir, mama meminta saya untuk tidur dengannya. Sebelum terlelap, kami banyak mengobrol. Semua kami bagi: mulai dari urusan keluarga hingga pekerjaan. Menjelang kami terpejam, mama meminta saya untuk lebih sering menelepon. “Ya memang dulu seusia kamu, mama juga lupa orang tua. Mama sering minta Kakak (cucu tertuanya) untuk nelepon Mama. Gimana pun orang tua seneng banget kalau ditelepon anaknya.” Ketika mengetik bagian ini, ada yang mengambang di pelupuk mata, ada yang mencekat di tenggorokan. Saat itu saya berjanji untuk lebih sering meneleponnya. 


#5 Semenjak punya keponakan-baik dari sepupu maupun saudara kandung-saya selalu memosisikan diri menjadi tante atau budhe yang cool dan menyenangkan. Saya mencintai keponakan-keponakan saya. Ketika mereka kecil, saya siap menjadi kawan bermain. Ketika mereka remaja, saya siap menjadi kawan bercerita. Di kepulangan mudik tahun ini, ada dua keponakan yang terasa sangat spesial. J (2,5 tahun) mulai mau bermain akrab dengan saya dan pakdhenya alias masbojo. Sebelum-sebelumnya ia lebih sering nemplok pada ibunya, adik ipar saya. Kedekatan ini begitu berarti karena hubungan keluarga kami kini terasa ganjil. 


Ada pula N yang kini menjadi santri madrasah tsanawiyah di Krapyak. Saat dia masih bayi, saya sering bermain ke rumahnya. Bahkan kami pernah mudik berdua dengan bus saat N berusia 4 tahunan. Saat itu, saking cerewetnya N sepanjang jalan, saya akhirnya pura-pura tidur. Menginjak remaja, hubungan saya dengan N agak menjauh. Namun kemarin, kami mengenang masa kecilnya sembari berselfie ria. Aaaak! Keponakanku kini sudah besar. Dan saya semakin menua. 


#6 Seringkali tiap pulang kampung, saya melihat-lihat lemari buku. Kadang membuka album foto masa kecil. Namun di kepulangan kemarin, saya mengambil sebuah album koleksi perangko. Album itu saya warisi dari kakak sepupu ketika saya masih SD. Dulu saya bercita-cita melanjutkan hobi filateli si kakak, namun cita-cita itu kandas begitu cepat karena saya lebih terpesona pada teknologi baru bernama SMS. 




Album itu penuh dengan perangko bertahun 80an hingga awal 2000-an. Banyak didominasi wajah Soeharto yang sudah terstempel PT Pos Indonesia dan gambaran negeri ini. Ketika membolak-balik album perangko itu, sungguh tampak wajah Indonesia ala Orde Baru yang berkiblat pada pembangunan. Serta merta pikiran selintas ini membuat saya mempertimbangkan perangko sebagai salah satu objek untuk rencana disertasi kala S3 nanti. 


#7 Tak lengkap rasanya menulis soal mudik tanpa membahas makanan. Di akhir-akhir mudik, saya agak menyesal karena tidak memfoto meja-meja tuan rumah yang penuh dengan jajanan ketika saya bertamu. Padahal dari situ saya bisa mencari tahu banyak hal. Dulu, nastar dan kastangel adalah kue mewah. Kini, kue-kue itu tampak biasa-biasa saja (terlebih ketika saya berhasil membuat kue-kue ini sendiri). Biskuit kalengan juga pernah menjadi barang mewah karena harganya yang tak murah. Dulu rasa-rasanya hanya ada merek Khong Guan, Astor, Tango, dan Monde. Kini muncul banyak sekali biskuit pabrikan alternatif dengan merek tak familiar. Wafer, cookies, dan eggroll bukan lagi menjadi panganan orang-orang kaya. Satu jajanan yang menarik perhatian adalah wafer roll sejenis astor bermerk Twiss Tuul yang kutemui di rumah bulik dari masbojo. Yang ada di kepala saya hanya, kok bisa ya memilih nama merek selucu dan segemas itu. Twiss Tuul! 


Dari semua jajanan yang saya temui saat silaturahmi, madu mongso dari Jombang adalah pemenangnya. Ketika memakannya, saya betul-betul terharu. Memang benar, makanan bisa membuat tenggelam dalam memori, baik buruk maupun baik. Kali pertama saya mengenal madu mongso adalah saat SD, mungkin kelas 5 atau 6. Saat itu bulik saya menikah dengan seorang laki-laki dari Jawa Timur. Madu mongso menjadi salah satu jajanan seserahannya. Semenjak pertama mencicipinya saya langsung jatuh hati. Ketika saya menikahi seorang pria dari Jawa Timur, saya akhirnya kembali bertemu dengan madu mongso. Namun ini jenis madu mongso yang lain, teksturnya lebih padat dan terlalu manis bagi lidah saya. Kemasannya pun berbeda. Maka ketika kami ke kota santri dan menemui madu mongso yang dibungkus dengan plastik transparan bermotif ini, saya terharu sekaligus girang bukan main. Saya bahkan membawa pulang dua bungkus untuk dimakan di Jogja. Satu saya makan sebelum menulis catatan ini. Satu saya simpan di kulkas untuk saya makan ketika berada di fase klangenan di beberapa hari ke depan. 


#8 Masih ada banyak hal baru lain yang saya temui ketika mudik kemarin: anak sepupu yang baru saya temui kemarin, simbah yang semakin menua, keluarga ipar yang semakin rekat, pengumuman lelang di sebuah bank di kampung masbojo, jajanan lama yang semakin berinovasi seperti Better kemasan kecil dan snack mie goreng, bakso yang bikin candu, lodeh jombang, obor modern, pesantren terbengkalai tempat dulu bapak mertua nyantri, kampung Bedahlawak, cumi hitam Depot Ibu Mashudah yang nikmatnya tiada tara, serabi sambal kacang, boneka kucing di dashbord Maxim, pohon mangga yang berbuah di luar musimnya, dan panen raya di kampung masbojo. Semuanya menyenangkan. Semuanya meneduhkan. 




Di poin kedelapan ini, saya hanya ingin bilang bahwa pulang masih menjadi cara favorit untuk mengisi ulang daya pikir dan jiwa yang kian mengopong. Dian, pulanglah! Pada pasangan, pada mama, pada bapak, pada saudara, pada kampung halaman. 



Yogyakarta, 7 April 2025


*Awalnya hanya ingin membuat caption singkat untuk story Instagram, tetapi kesenangan dan keteduhan yang masih membuncah ini butuh ruang lebih luas untuk dituliskan. Maka jadilah satu tulisan berisi delapan poin ini. 


Kamis, 06 Februari 2025

sewindu mati suri

Sebagai orang dewasa yang perekonomiannya sudah tidak disokong oleh orang tua, selazimnya saya mengikuti kebiasaan orang dewasa lain: sibuk bekerja. 

Inilah alasan yang saya pilih untuk menjadi apologia mengapa blog ini kosong melompong selama sembilan tahun ke belakang. Postingan terakhir tertanggal 17 November 2016 dan postingan terbaru ini tertanggal 6 Februari 2025. Selama delapan tahun tiga bulan bernapas dan menjalani hidup yang "seru" ini, tentu saja ada banyak cerita. Ada banyak kebahagiaan. Banyak kedengkian. Dan banyak-banyak yang lain yang seharusnya dan sebaiknya ditulis agar 10 tahun lagi tetap bisa saya baca dan syukur-syukur bisa saya ambil hikmahnya. 

Sebagai pembuka atas mati suri catatan pribadi online ini selama sewindu lebih, saya rasa cukup sekian tulisan ini dibuat. Semoga, tempat ini bisa kembali menjadi tempat yang nyaman untuk berkisah. Dan benar-benar menjadi trubadur, kata yang saya pilih menjadi nama blog ini. 

Sebagai orang dewasa yang begitu deh, saya pamit mengakhir tulisan ini karena harus kembali bekerja. 😌

Kamis, 17 November 2016

Tips Bertahan Hidup Buat Perempuan

Buat kawan-kawan (terutaman perempuan) yang ingin berkonsultasi perihal kesehatan organ reproduksinya, dibolehkan sekali loh untuk datang ke Klinik Kucala. Di manakah Kucala? Ada di sebelah timur Gramedia Sudirman. Satu deret dengan LBC Yogyakarta.
Sampai tahun 2014 unit-unit pelayanan yang ada dalam program KMC antara lain Unit Kanker dan Praktik Dokter Umum yang terdiri dari paps smear, periksa payudara, pelayanan KB, pelayanan vaksinasi anti kanker serviks, dan periksa umum. Selain itu, Unit Psikologi terdiri dari konsultasi dan psikotes, Unit Gizi yang terdiri dari konsultasi, Unit Laser/ ILIB yang terdiri dari konsultasi dan tindakan laser, dan Unit Menopause yang terdiri dari konsultasi. Terakhir, adalah Unit Praktik Dokter Spesialis yang terdiri dari yang terdiri dari spesialis bedah yang melayani konsultasi, AJH, ekstipasi kecil. Spesialis obsgyn yang melayani konsultasi, kolposkopi, dan biopsi. Spesialis penyakit dalam yang melayani konsultasi. Dan spesialis kulit dan kelamin yang melayani konsultasi, bedah listrik, dan kimia.

Yayasan Kuçala biasanya memprioritaskan untuk membantu orang-orang dengan prognosa baik, riwayat penyakit yang membaik, dan harapan hidupnya tinggi. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan pertentangan tersendiri. Beberapa anggota yayasan meyakini bahwa menolong tak melulu harus melihat prognosa sang pasien. Lantas tercetuslah ide untuk membuat sebuah unit sosial yang akan membantu semua pasien, baik kanker maupun non kanker, baik dengan prognosa baik atau jelek. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki keinginan untuk bertahan hidup. 

Senin, 14 November 2016

Tulisan Pesenan Admin


(diposting sekarang karena besok riweh)
Sesuai mandat dari Wafiq, hari ini kita senang-senang mengomentari blog orang. Dan (lagi-lagi) mandat dari Wafiq, saya dapat jatah mengomentari isi blog dari Fahrudin, itepade.blogspot.com. Saya sendiri embuh dengan pengertian itepade. Barangkali sebuah singkatan ITPD, Institut Tukang Pijat Dukunberanak. Barangkali itepade adalah bahasa slang yang sebenernya mau bilang “Kite Pade” alias kita semua. Entahlah.


Kalau tidak salah baca, di blog si Fahru ini ada nama saya. Alhamdulillah. Saya jadi semakin eksis di dunia siber. Oleh karena itu, saya Baik-baikin dia aja alah ga akan banyak bicara. Saya singkirkan dulu kebiasaan jaman S1 dulu yang sering didapuk jadi evaluator galak. 

Come Come Come

Seharian kemarin saya menonton ulang Trilogi Before. Itu lho, Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004), dan Before Midnight (2013). Menonton film drama ciamik dalam kondisi PMS dan berjauhan dari ehem-ehem ternyata punya efek yang besar sekali. Yah, setidaknya saya nggak merasa perut melilit seperti biasanya.

Film ini sebenernya “hanya” berisi obrolan seorang perempuan dan laki-laki yang dipertemukan entah (takdir barangkali). Saya tidak akan menceritakan sinopsis film ini. Sila cari sendiri. Reviewnya juga banyak. Saya cuma sedang jatuh cinta dengan salah satu soundtrack di film pertama. Judulnya “Come Here”, dinyanyikan oleh Kath Bloom. Dalam film, tokoh perempuan dan laki-laki mendengarkan lagu ini di ruangan khusus, di sebuah toko piringan hitam. Lantas saya merasa entah: teknologi sudah begitu maju. Semua berubah. Termasuk romantisme. Kadang romantisme begitu terasa ketika dunia tidak seruwet dan sehebat sekarang. 

Rabu, 09 November 2016

Jomblo Nggak Papa Yang Penting Goban Dulu (Part III)


 Betewe saya baru saja punya aidol baru.. Dua makhluk ciptaan tuhan yang sebenernya terlalu segan buat saya untuk menulis tentang mereka. Yang pertama adalah Alvin.  Lengkapnya Muhammad Alvin Faiz. Alvin adalah putra dari seorang kyai besar, Arifin Ilham. Pertama kali melihat wajah Alvin, sungguh saya terpana. Subhanallah,  putih amat. Cemerlang. Bebas jerawat serta bebas rambut janggut. Mayan tampan. Tapi mimik bocah masih kelihatan betul meskipun sebentar lagi ia berubah status menjadi bapak. Alvin adalah panutan remaja Indonesia, setidaknya begitulah kata seorang mahasiswi yang duduk bersebelahan dengan saya di acara Seminar Jomblo kemarin.  Alvin terbilang masih sangat muda (betewe, beliau kelahiran tahun 1999). Rupawan. Soleh. Pinter ngaji. Rajin sholat. Punya usaha sendiri. Dari keluarga terpandang. Dan lain-lain.  Dan lain-lain. Alvin adalah perwujudan calon menantu idaman. Sayangnya dia sudah "dicup" mantu oleh orang lain. Oleh orangtua Larissa Chou.

Saya beruntung bisa melihat beliau. Ya itu. Saya bertemu Alvin di Seminar Melepas Kejombloan dengan Cara Allah.  Ada beberapa hal menarik dari Alvin. Pertama,  dia punya nyali sebesar galaksi Andromeda untuk segera menikah muda. Sangar!  Belum lulus SMA tapi sudah tancap gas mendahului kami-kami yang tak kapok-kapok pacaran-putus. Begitu terus. Semuda apapun Alvin mengambil keputusan menikah, saya menghargai betul keputusannya.  Dilihat dari usianya,  normalnya remaja seusia Alvin pasti sudah pernah mimpi basah. Oleh karena itu, secara biologis, organ reproduksi beliau kemungkinan berada pada status paripurna.  Pun demikian Larissa yang sudah berusia lebih dari 18 tahun. Insya Allah,  aman. Secara usia, barangkali keduanya tergolong masih muda. Tapi dengan didikan pakyai, setidaknya Alvin tahu dan memegang prinsip agama untuk tidak menyakiti istrinya. Ketiga, saya yakin Alvin dan Larissa hidup dalam keluarga berkecukupan. Buat mereka,  mengadakan resepsi bukan masalah besar. (Emangnya aing. Buat beli lipstik aja kudu nabung?)
Dalam acara seminar kemarin,  Alvin mendaku bahwa sejak kecil beliau sudah berpindah-pindah pesantren.  Hidupnya keras. Dalam seminggu,  dia makan daging ayam hanya satu kali. Nah, berbekal salah satu pengalaman makan ayam hanya seminggu sekali inilah, Alvin yakin bahwa lulusan pesantren punya kekuatan lebih dalam menghadapi kehidupan rumah tangga.  (Tapi kan tapi... Rasanya ingin menyanggah,  tapi se666an). Pantas saja Mas Dafi, senior saya yang yahud itu,  berani menikah cepat. Anak pesantren tulen.

---

Idola saya yang kedua bernama Berri El-Makky. Nama yang sebelumnya masih sangat asing di telinga saya.  Dan inilah bintang utama di acara Seminar Melepas Kejombloan dengan Cara Allah. Subhanallah,  harusnya kalian semua datang buat melihat Bang Berri. Beliau ini. Bagaimana ya mendefinisikan beliau.  Sebutlah bijak.  Beliau mampu menggunakan kemampuannya berbicara untuk membuat para peserta seminar tertawa,  menangis,  hingga menyumbang sebanyak-banyaknya. 
Dari paparan beliau di mimbar orasi, saya semakin tersadarkan bahwa bagi mereka hanya ada dua pilihan: jomblo atau menikah.
Ohya, Bang Berri sendiri sangat menyarankan para pemuda pemudi untuk menikah muda. Tak usah khawatir biaya resepsi. Bang Berri menyebut bahwa biaya pernikahannya hanya 2 juta rupiah saja. Itupun hanya untuk dana membeli kasur dan biaya KUA. Di acara itu, Bang Berri lantas memperlihatkan foto-foto pernikahannya.  Saya sih jujur agak tertegun. Itu baju dan make up mempelai kok bagus ya. Lah padahal 2 juta. Itu di mushola kok penuh dengan backdrop putih ya?  Padahal dua juta. Itu kok pake acara foto pre wedding (atau pasca wedding) ya?  Padahal 2 juta.  Ternyataaaa, “Ada yg mau nyumbang aqua 10 dus. Ada yang nyumbang biaya catering,”  sabda Bang Berri. (Ya elah Bang.  Kalau begitu ma sama aja lebih dari dua juta. Bang Berri bisa  aja bermain kata-kata.)
Nah di sesi terakhir seminar,   Bang Berri juga memberi tips supaya kita terhindar dari jabatan jomblo tingkat akut. Apa sajakah itu?  Taubat, menghindari dosa, membaca Al-quran, salat tepat waktu. Ketika pembicaraan sudah ke bagian ini, badan saya rasanya linu sekali. Otak saya juga lumayan mendidih. Saya melirik jam tangan, menunjukkan angka 5 lebih.  Berarti seminar ini sudah berjalan kurang lebih 3 jam. Tapi masih ada rahasia yg belum Bang Berri beberkan tentang tips anti jomblo. Yaitu berbakti pada ibu. (Wah jurus ala ESQ keluar). Lantas bang Berri mempertontonkan sebuah video iklan restoran di Thailand. Alhamdulillah saya sudah menonton video itu berkali-kali di youtube. Jadi saya hanya menonton mbak-mbak di sebelah saya menangis sesenggukan.  (Ini saya bagikan link-nya. Siapa tau situ-situ berniat nonton: ini linknya.   
Acara tangis-tangisan mengingat emak di rumah berakhir sudah. Saya pikir, acara akan segera selesai dan ditutup. Tapi tunggu saudara-saudara! Masih ada satu tips yang Bang Berri jelaskan. Apakah itu? INFAK.
Subhanallah. Saya tertegun. Belum hilang rasa terkejut, Bang Berri menambahkan bahwa uang hasil infak para peserta akan disumbangkan kepada orang membutuhkan melalui gerakan yang ia pelopori, Pemuda Hijrah Pemenang.
Panitia lantas meyiapkan kardus di depan panggung.
Dengan suaranya yang menggetarkan, Bang Berri menyuruh kita semua untuk berinfak saat itu juga. Beliau menyuruh kami semua menggenggam uang persembahan sebanyak-banyaknya. Tentu saja, demi segera terlepas dari status jomblo. Dengan ajakan yang begitu mengena dan nada bicara yang begitu semangat, “Tunjukkan pada Allah, kalau uang bukanlah segala-galanya buatmu.”
Satu per satu peserta maju ke depan. Menggenggam sejumlah uang dan memasukannya dalam kardus.

Saya? Nyengir sajalah. 

Senin, 07 November 2016

Jomblo Nggak Papa, Yang Penting Goban Dulu (Part II)

Selamat siang Jamaah Mama Dian. Kemarin saya ingkar mengupdate isi pengajian. Maafkeun ya. Saya sibuk merenungi kembali isi kajian dari para guest star, eh aktivis Islam di Seminar Lepas Kejombloan dengan Cara Allah. 

Jadi, acara pengajian berbalut seminar ini dijadikan dua sesi besar. Sesi pertama diisi oleh La Ode Munafar. Itu lho, mas-mas dari Sulawesi yang jadi founder dari gerakan Indonesia Tanpa Pacaran. Nah, Kak La Ode ini menyerukan pada para jamaah bahwa orang-orang yang pacaran bukanlah seorang bebas. Ia merupakan tahanan luar yang dipenjara pasangannya masing-masing. Lama jemput, ditanyain. Lama balas whatsapp, ditanyain. Malam Minggu nggak ngapel, ditanyain. Ya Allah, kapan kami bisa berpacaran dengan damai ya Allah, jika sejatinya pacaran sendiri merupakan gerakan sukarela menjadi terdakwa. “Betapa hati orang pacaran tidak pernah tentram,” begitu sabda Kak La Ode.

Di acara itu, Kak La Ode juga sesumbar kepada para peserta yang masih kinyis-kinyis dan notabene belum menikah. Menurutnya, menikah muda adalah suatu prestasi besar. Kurang lebih dia berujar bahwa perempuan berprestasi adalah perempuan pemberani yang sanggup meninggalkan orang tuanya yang sudah membesarkan ia selama bertahun-tahun, meninggalkan adik dan kakaknya demi laki-laki asing. Demi apa jamaah? Ya betul. Demi menikah dan berkembang biak. 

Seketika itu juga hati saya bergemuruh. Ya Allah, ternyata saya adalah makhluk lemah, nista, dan sama sekali tak patut dibanggakan karena prestasi menikah ini belum (bahkan tidak akan pernah) saya raih. Ya iyalah, sekarang saja usia saya sudah seperempat abad lebih dikit. Belum ada satupun cincin melingkar di jari saya yang berjumlah 20 helai. Bayangan menikah muda sudah saya kubur dari lama sekali. Dan ini berarti saya kehilangan kesempatan untuk berprestasi a la Kak La Ode. Padahal susah payah semasa SD saya ikut lomba Dokter Kecil sampai ke level provinsi. Susah payah saya mengerjakan soal matematika yang bikin migrain. Susah payah saya merampungkan skripsi. Susah payah saya bekerja demi menjadi perempuan mandiri. Susah payah saya belajar lagi. Dan semua tidak ada artinya jika tidak dibarengi nikah muda. Iya Kak, saya menyerah. 

Lagi-lagi Kak La Ode menyerukan kita untuk segera menikah. Menikah muda. Yang laki, demi menyarungkan “senjata”. Yang perempuan, demi menjadi makhluk berprestasi itu. (Saya sih sudah tercoret otomatis). Menurut Kak La Ode, hukum yang dibuat Allah itu sudah sempura, simple, dan enak semua. Ya itu, Jomblo dan menikah. Kalau kamu nggak mau jomblo, ya sudah menikah! Kalau kamu belum sanggup menikah, ya derita lo, mblo! Hanya itu pilihannya. Aturan ini berbeda dari aturan yang dibuat manusia yang banyak pilihan tapi dirasa-rasa kok pahit semua, macam pacaran, TTM (Teman Tapi Mesra), HTS (Hubungan Tanpa Status), sampai PRT (Pacar Rasa Teman).

Sudah dulu ya, di Part III nanti saya ingin cerita tentang dua narsum terakhir. Yak betul. Babang Alvin yang Subhanallah wajahnya bercahaya dan Bang Berri yang getol promosi gamis dan melancarkan gerakan infak sebanyak-banyak demi peroleh jodoh sesegera mungkin. Sementara ini, saya mau lihat rapot dari jaman TK sampai S1 yang tidak bermakna apa-apa karena tidak ada keterangan sebagai “Perempuan Berprestasi Karena Menikah Muda”.

Sun sayang buat jamaah.