Selain bertemu orang tua, saudara yang bejibun, dan tetangga yang sama-sama merantau, mudik adalah momentum kita bertemu sesuatu yang baru atau yang lama tapi kita maknai dengan cara baru.
#1 Mudik kemarin, saya dan masbojo masih setia mengandalkan kereta api menuju kampung kami berdua di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hingga kembali ke Jogja, total kami mencicipi 4 kereta yang jenisnya berbeda-beda. Kalau tidak keliru New Generation Stainless Steel, New Generation Modifikasi, Premium Generasi Lama, dan Premium New Image.
Di kereta keempat, kami tiba-tiba mereview tipis-tipis kursi-kursi yang kami duduki. Dan saya menobatkan Progo New Generation Stainless Steel sebagai kereta termanis yang pernah saya tumpangi. Cantik betul interiornya. Paduan dark blue dan cokelat untuk joknya, reclining seat yang bikin nyaman meski leg room tidak terlalu luas, steker dengan berbagai jenis colokan, gantungan yang dipencet dulu baru terlihat, atap bermotif, dan tatakan botol dan gelas yang menyatu dengan pinggiran jendela. Bagian paling ciamik adalah lantainya yang bercorak dan dominan biru, lalu pendaran lampu downlight yang mempermanis lantai.
#2 Sejak stasiun dekat rumah difungsikan kembali, moda transportasi yang paling sering saya manfaatkan tentu saja kereta api! Rumah orang tua di kampung hanya sepeminuman teh dari stasiun kecil ini. Namun di kepulangan mudik kemarin, nuansa stasiun yang sudah diremajakan itu terasa berbeda. Adem sekali! Biasanya panasnya tak karuan. Bisa jadi karena ini kali pertama kami memilih kereta yang sampai di stasiun pukul 5 sore, menjelang buka puasa. Bisa jadi karena mood saya sedang bagus-bagusnya setelah terpesona pada lantai kereta itu.
Cuaca adem, angin sepoi-sepoi, langit yang masih cerah, dan mood yang baik membuat saya sedikit berlama-lama mengamati stasiun kecil ini. Momentum ini membuat saya teringat masa kecil 90-an akhir. Ketika lebaran, stasiun ini selalu ramai menjadi jujugan wisata orang-orang kampung: naik dokar ke stasiun, menonton kereta api yang saat itu masih jarang melintas, membeli segala jajanan yang ditawarkan para pedagang.
Setelah Kereta Mahesa yang melayani jurusan Bandung-Semarang via Kroya-Purwokerto tidak laku dan berhenti beroperasi tahun 2000, stasiun ini mati, hanya kereta barang yang melintasi. Maka girang betul saya yang ketika akhirnya ada rute baru yang kembali menghidupkan stasiun ini. Di masa-masa saya mulai bekerja di perantauan, saya kembali akrab dengan stasiun yang menjadi penghubung rindu kepada kampung dan orang-orang yang saya kasihi.
#3 Takjil gorengan adalah sesuatu yang terbilang baru bagi saya. Sejak kecil hingga sebelum menikah, saya biasa berbuka puasa dengan makanan-makanan manis seperti es campur, candil, atau kembang pacar. Atau langsung saja menyantap nasi supaya segera kenyang. Namun ketika menikah, masbojo punya kebiasaan berbuka dengan takjil gorengan. Padahal dulu, gorengan (tempe, bakwan, atau tahu) adalah lauk pendamping nasi. Kebiasaan suami ini kadang bikin saya bingung: kami harus berbuka lauk apa ketika gorengan sudah disantap sebagai menu takjil? :)
Meski bingung, toh saya tetap menikmati gorengan sebagai takjil. Bahkan kini rasanya hampa jika olahan jahat terigu dan minyak ini tidak tersedia di meja makan kala azan berkumandang. Soal gorengan sebagai takjil saat mudik, ada dua kisah yang begitu melekat. Tahun 2022, kami mudik ke Jawa Timur menggunakan mobil pinjaman. Menjelang Magrib kebetulan kami berada di daerah Ngawi. Ya Tuhan betapa sulitnya mencari penjual gorengan di Ngawi. Kami berputar-putar di kawasan kota berharap ada pedagang bakwan atau mendoan di pinggir jalan. Nihil! Padahal di Jogja, jumlah penjual gorengan di bulan puasa meningkat drastis. Kami berasumsi bahwa orang-orang Ngawi tak punya budaya menjadikan gorengan sebagai menu takjil atau jika iya, mereka memilih menggoreng di rumah masing-masing.
Tahun ini, jatah mudik pertama adalah di kampung saya. Biasanya mama selalu menggoreng tempe untuk berbuka. Namun kali itu, saya memilih untuk membeli di pasar karena ia harus menjemput kami di stasiun. Di perempatan pasar, ada penjual gorengan yang sibuknya tak karuan. Empat orang laki-laki sibuk menyiapkan dagangan: seorang memotong tempe berpapan-papan, seorang membuat adonan glepung, seorang sibuk meracik bumbu, dan yang terakhir melayani pembeli yang semaki sore justru semakin bertambah.
Sebagai insan yang tak pernah membeli di sini, saya bingung mengapa kok saya dicueki tak ditanyai. Saya sempat membatin, “Kenapa tidak pakai nomor antrean saja ya biar adil?”Seorang pembeli akhirnya memberi tahu saya bahwa sistem antrean di tempat ini menggunakan uang. Jadi, buru-buru saya berikan selembar 20 ribuan yang saya pegang. Si pedagang kemudian menaruhnya di atas meja gerobak, berderet dengan uang pembeli yang lain. Pintar juga!
#4 Lebaran bertiga
Tahun ini, sungkeman selepas salat Ied di rumah hanya dilakukan bertiga: saya, masbojo, dan mama. Mba dan adik ada di rumah mertua masing-masing. Hari pertama lebaran di rumah yang berisi tiga orang dewasa membuat suasana begitu santai. Tidak gedebak-gedebuk selayaknya lebaran di rumah yang dipenuhi anak-anak kecil. Saya sih cukup menikmati sungkeman yang terasa santai dan cepat itu. Tidak ada air mata. Barangkali karena setahun ke belakang adalah waktu yang menyenangkan buat saya dan masbojo. Setahun ke bekalang, hubungan saya dan mama juga semakin intim meski intensitasnya berkurang. Kami banyak mengobrol dari hati ke hati: saya banyak bicara, mama banyak bicara; saya banyak mendengar, mama juga demikian.
Mengucap maaf, memaafkan, mencium tangan dengan takzim, mencium pipi kanan dan kiri, dan berpelukan. Lalu seperti biasa, setelahnya kami berombongan dengan keluarga besar nyekar ke makam.
*Di hari terakhir, mama meminta saya untuk tidur dengannya. Sebelum terlelap, kami banyak mengobrol. Semua kami bagi: mulai dari urusan keluarga hingga pekerjaan. Menjelang kami terpejam, mama meminta saya untuk lebih sering menelepon. “Ya memang dulu seusia kamu, mama juga lupa orang tua. Mama sering minta Kakak (cucu tertuanya) untuk nelepon Mama. Gimana pun orang tua seneng banget kalau ditelepon anaknya.” Ketika mengetik bagian ini, ada yang mengambang di pelupuk mata, ada yang mencekat di tenggorokan. Saat itu saya berjanji untuk lebih sering meneleponnya.
#5 Semenjak punya keponakan-baik dari sepupu maupun saudara kandung-saya selalu memosisikan diri menjadi tante atau budhe yang cool dan menyenangkan. Saya mencintai keponakan-keponakan saya. Ketika mereka kecil, saya siap menjadi kawan bermain. Ketika mereka remaja, saya siap menjadi kawan bercerita. Di kepulangan mudik tahun ini, ada dua keponakan yang terasa sangat spesial. J (2,5 tahun) mulai mau bermain akrab dengan saya dan pakdhenya alias masbojo. Sebelum-sebelumnya ia lebih sering nemplok pada ibunya, adik ipar saya. Kedekatan ini begitu berarti karena hubungan keluarga kami kini terasa ganjil.
Ada pula N yang kini menjadi santri madrasah tsanawiyah di Krapyak. Saat dia masih bayi, saya sering bermain ke rumahnya. Bahkan kami pernah mudik berdua dengan bus saat N berusia 4 tahunan. Saat itu, saking cerewetnya N sepanjang jalan, saya akhirnya pura-pura tidur. Menginjak remaja, hubungan saya dengan N agak menjauh. Namun kemarin, kami mengenang masa kecilnya sembari berselfie ria. Aaaak! Keponakanku kini sudah besar. Dan saya semakin menua.
#6 Seringkali tiap pulang kampung, saya melihat-lihat lemari buku. Kadang membuka album foto masa kecil. Namun di kepulangan kemarin, saya mengambil sebuah album koleksi perangko. Album itu saya warisi dari kakak sepupu ketika saya masih SD. Dulu saya bercita-cita melanjutkan hobi filateli si kakak, namun cita-cita itu kandas begitu cepat karena saya lebih terpesona pada teknologi baru bernama SMS.
Album itu penuh dengan perangko bertahun 80an hingga awal 2000-an. Banyak didominasi wajah Soeharto yang sudah terstempel PT Pos Indonesia dan gambaran negeri ini. Ketika membolak-balik album perangko itu, sungguh tampak wajah Indonesia ala Orde Baru yang berkiblat pada pembangunan. Serta merta pikiran selintas ini membuat saya mempertimbangkan perangko sebagai salah satu objek untuk rencana disertasi kala S3 nanti.
#7 Tak lengkap rasanya menulis soal mudik tanpa membahas makanan. Di akhir-akhir mudik, saya agak menyesal karena tidak memfoto meja-meja tuan rumah yang penuh dengan jajanan ketika saya bertamu. Padahal dari situ saya bisa mencari tahu banyak hal. Dulu, nastar dan kastangel adalah kue mewah. Kini, kue-kue itu tampak biasa-biasa saja (terlebih ketika saya berhasil membuat kue-kue ini sendiri). Biskuit kalengan juga pernah menjadi barang mewah karena harganya yang tak murah. Dulu rasa-rasanya hanya ada merek Khong Guan, Astor, Tango, dan Monde. Kini muncul banyak sekali biskuit pabrikan alternatif dengan merek tak familiar. Wafer, cookies, dan eggroll bukan lagi menjadi panganan orang-orang kaya. Satu jajanan yang menarik perhatian adalah wafer roll sejenis astor bermerk Twiss Tuul yang kutemui di rumah bulik dari masbojo. Yang ada di kepala saya hanya, kok bisa ya memilih nama merek selucu dan segemas itu. Twiss Tuul!
Dari semua jajanan yang saya temui saat silaturahmi, madu mongso dari Jombang adalah pemenangnya. Ketika memakannya, saya betul-betul terharu. Memang benar, makanan bisa membuat tenggelam dalam memori, baik buruk maupun baik. Kali pertama saya mengenal madu mongso adalah saat SD, mungkin kelas 5 atau 6. Saat itu bulik saya menikah dengan seorang laki-laki dari Jawa Timur. Madu mongso menjadi salah satu jajanan seserahannya. Semenjak pertama mencicipinya saya langsung jatuh hati. Ketika saya menikahi seorang pria dari Jawa Timur, saya akhirnya kembali bertemu dengan madu mongso. Namun ini jenis madu mongso yang lain, teksturnya lebih padat dan terlalu manis bagi lidah saya. Kemasannya pun berbeda. Maka ketika kami ke kota santri dan menemui madu mongso yang dibungkus dengan plastik transparan bermotif ini, saya terharu sekaligus girang bukan main. Saya bahkan membawa pulang dua bungkus untuk dimakan di Jogja. Satu saya makan sebelum menulis catatan ini. Satu saya simpan di kulkas untuk saya makan ketika berada di fase klangenan di beberapa hari ke depan.
#8 Masih ada banyak hal baru lain yang saya temui ketika mudik kemarin: anak sepupu yang baru saya temui kemarin, simbah yang semakin menua, keluarga ipar yang semakin rekat, pengumuman lelang di sebuah bank di kampung masbojo, jajanan lama yang semakin berinovasi seperti Better kemasan kecil dan snack mie goreng, bakso yang bikin candu, lodeh jombang, obor modern, pesantren terbengkalai tempat dulu bapak mertua nyantri, kampung Bedahlawak, cumi hitam Depot Ibu Mashudah yang nikmatnya tiada tara, serabi sambal kacang, boneka kucing di dashbord Maxim, pohon mangga yang berbuah di luar musimnya, dan panen raya di kampung masbojo. Semuanya menyenangkan. Semuanya meneduhkan.
Di poin kedelapan ini, saya hanya ingin bilang bahwa pulang masih menjadi cara favorit untuk mengisi ulang daya pikir dan jiwa yang kian mengopong. Dian, pulanglah! Pada pasangan, pada mama, pada bapak, pada saudara, pada kampung halaman.
Yogyakarta, 7 April 2025
*Awalnya hanya ingin membuat caption singkat untuk story Instagram, tetapi kesenangan dan keteduhan yang masih membuncah ini butuh ruang lebih luas untuk dituliskan. Maka jadilah satu tulisan berisi delapan poin ini.
.jpeg)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar